GenPI.co Jateng - Tren membeli baju baru saat Lebaran picu lonjakan sampah fesyen sehingga berdampak buruk bagi lingkungan.
Membeli baju baru saat Lebaran menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia untuk merayakan kemenangan seusai berpuasa sebulan penuh pada Ramadan.
Pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret atau UNS Solo, Prabang Setyono, menilai tren ini memiliki dua dampak baik secara ekonomis maupun ekologis, meski secara filosofis pemaknaan baju baru ini baik.
“Budaya tersebut sebenarnya pemaknaan simboliknya bagus, hanya pemaknaan secara fisiknya tidak harus dengan baju baru. Baju bagus yang sudah tersimpan lama tapi belum dipakai atau jarang dipakai saja,” ujar Prabang dikutip Uns.ac.id, Sabtu (30/4).
Secara ekonomis, bertambahnya konsumsi pakaian berpotensi meningkatkan omzet bagi para pelaku bisnis di industri fesyen.
Namun, di sisi lain, penambahan konsumsi ini berpotensi merusak lingkungan karena terjadi lonjakan sampah fesyen dan dampak negatif lainnya.
Prabang menyebutkan penambahan permintaan berarti meningkatkan produksi fesyen. Artinya, limbah tekstil akan turut bertambah.
Sementara di hilir, ongkos membersihkan baju bekas mendorong peningkatan konsumsi deterjen. Hal ini tentu berdampak negatif bagi lingkungan.
Penambahan baju juga mendorong peningkatan sampah fesyen di masyarakat.
Sebagai solusinya, Prabang mendorong agar masyarakat menerapkan ekonomi sirkular yakni dengan menyalurkan baju-baju layak pakai yang hanya kekecilan atau modenya ketinggalan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Model ini dinilai lebih ramah lingkungan ketimbang membuat baju bekas ini menjadi tumpukan sampah.
“Baju layak pakai untuk didistribusikan ke masyarakat pengguna lain agar penggunaannya berkelanjutan atau sustainable,” ujar dia.
Apabila baju ini memang betul-betul tidak layak pakai, baru dijual kepada produsen yang memanfaatkan limbah fesyen misal untuk isian sofa atau bantalan.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News