GenPI.co Jateng - Pergantian raja bisa dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Tidak selalu pewaris takhta adalah putra kandungnya.
Hal ini disampaikan Kepala Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof Susanto, terkait terpilihnya penerus takhta Pura Mangkunegaran.
"Kalau dulu sudah meninggal diangkat penggantian begitu saja. Tetapi, dengan berbeda-beda situasi bisa jadi anaknya bisa jadi cucunya bahkan bisa jadi adiknya karena situasi yang berbeda," kata dia, kepada wartawan GenPI.co saat dihubungi melalui saluran telepon, Selasa (8/3).
Menurut dia, tidak selalu pewaris takhta adalah putra kandung.
Kondisi ini seperti yang terjadi pada Pakubuwono VI dan Pakubuwono VII di Keraton Kasunanan Surakarta.
"Ya itu situasional, misal dari V ke VII itu karena anaknya masih kecil dan itu situasinya gawat, dalam arti ekonomi. Nah, adiknya yang diangkat karena adiknya punya peranan penting dalam penanganan krisis ekonomi di Mangkunegaran lalu jadi Mangkunegoro VI," papar dia.
Susanto menyebut suksesi Pura Mangkunegaran saat ini merupakan hal yang lumrah.
Sekarang ini Gusti Pangeran Hario (GPH) Bhre Chakrahutomo Wira Sudjiwo yang terpilih menjadi Mangkunegoro X.
GPH Bhre merupakan anak Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IX dengan permaisuri Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX.
"Jadi sebetulnya dari yang ke VIII hingga IX itu bukan Sudjiwo (Mangkunegara IX) ya, tapi Raditya. Nah, Raditya itu meninggal, anak pertama laki-laki itu meninggal lalu, Sudjiwo anak ke-4 laki-laki, maka dia menggantikan kakaknya ya begitu,” ungkap Susanto.
Susanto menambahkan Gusti Raditya yang merupakan kakak Gusti Jiwo (Mangkunegara IX) meninggal pada 1978.
“ Jadi begitu ayahnya meninggal (Mangkunegara VIII) ya musyawarah dari dewan pinisepuh kemudian keluarga inti dan itu lalu memilih Sudjiwo jadi ke-IX begitu. Jadi meninggalnya 1987 baru diangkat 1988 kan sudah dipilih pada 1987," jelas dia.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News